Al-Takhalluq bi al-akhāq Allāh: dirāsah taḥlīliyyah fī kitāb al-Taḥsīr fī al-Tażkīr li al-Imām `Abd al-Karīm al-Qusyairī

Berakhlak dengan akhlak Allah merupakan hal penting bagi manusia karena ia telah diciptakan sebagai khalifah-Nya di bumi. Berakhlak dengan akhlak Allah juga merupakan jalan untuk menjadi pribadi ideal. Adapun pribadi ideal adalah setiap orang yang menggambarkan citra Ilahi, karena ia merupakan tempa...

Full description

Bibliographic Details
Main Author: Istifaiyah, Istifaiyah
Format: Thesis
Language:English
Published: 2013
Subjects:
Dua
Online Access:http://eprints.walisongo.ac.id/1537/
http://eprints.walisongo.ac.id/1537/1/094111022_Skripsi_Coverdll.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/1537/2/094111022_Skripsi_Bab1.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/1537/3/094111022_Skripsi_Bab2.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/1537/4/094111022_Skripsi_Bab3.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/1537/5/094111022_Skripsi_Bab4.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/1537/6/094111022_Skripsi_Bab5.pdf
http://eprints.walisongo.ac.id/1537/7/094111022_Skripsi_Bibliografi.pdf
Description
Summary:Berakhlak dengan akhlak Allah merupakan hal penting bagi manusia karena ia telah diciptakan sebagai khalifah-Nya di bumi. Berakhlak dengan akhlak Allah juga merupakan jalan untuk menjadi pribadi ideal. Adapun pribadi ideal adalah setiap orang yang menggambarkan citra Ilahi, karena ia merupakan tempat tajalli Ilahi yang paripurna. Apabila para filosof dan sufi telah membahas pribadi ideal dari segi wujudnya maka al-Qusayry telah membahas asma dan sifat Allah sebagai jalan untuk menuju akhlak yang mulia dan pribadi ideal sesuai dengan boleh dan tidaknya asma tersebut digunakan oleh manusia. Kajian ini merupakan kajian tentang kitab “al-Tahbir Fi ‘l-Tadzkir” oleh al-Qusayry. Dengan demikian, penulis membahas argumen al-Qusayry tentang akhlak, klasifikasi dan tingkatan-tingkatannya berdasarkan pada kitab “al-Tahbir Fi ‘l-Tadzkir”. Oleh karena itu, dengan studi analisis pada “al-Tahbir Fi ‘l-Tadzkir” memungkinkan penulis untuk mengungkapkan “akhlak menurut al-Qusayry”. Kajian ini termasuk kajian kepustakaan (library research) dengan mentode descriptive-analyses. Adapun sumber datanya penulis ambil dari kitab “al-Tahbir Fi ‘l-Tadzkir” karya al-Qusayry serta kitab-kitab lainnya yang berhubungan dengan judul skripsi. Adapun mengenai metode pengumpulan data, penulis mengambil dari kajian kepustakaan yang berupa data-data yang bersumber dari pembahasan-pembahasan ilmiyah, buku dan jurnal. untuk menganalisis data penulis menggunakan dua cara. Pertama, descriptive. Kedua, analyzes. Hal ini penulis lakukan dengan cara membaca dan menela’ah sebagai langkah pertama, memahami makna yang tersurat maupun yang tersirat, menganilisa maksud bacaan, mengklasifikasikannya kemudian menentukan hasil penelitian. Dari kajian yang telah terlaksana, penulis mengambil kesimpulan bahwasannya hakikat akhlak menurut al-Qusayry keseluruhan bersumber dari asma Allah. Dengan demikian, sumber dari seluruh akhlak adalah Allah ‘Azza wa Jalla. Namun jika ditemukan akhlak tercela maka ia adalah dari manusia itu sendiri, yakni bukan dari Allah karena Allah adalah sumber segala kebaikan (Q.S. An-Nisa’: 78-79). Akhlak terbagi menjadi dua bagian: terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Dinamakan akhlak mahmudah apabila manusia berakkhlak dengan asma Allah yang patut untuk diteladaninya. Seperti: al-Malik, al-Salam, al-Mu’min, al-Muhaimin, al-Aziz, al-Khaliq, al-Bari’, al-Mushawwir, al-Wahhab, al-Razzaq, al-Fattah, al-‘Alim, al-Lathif, al-Khabir, al-Halim, al-Hafidz, al-Karim, al-Mujib, al-Wasi’, al-Hakim, al-Syahid, al-Haqq, al-Wakil, al-Qawiy, al-Wali, al-Hamid, al-Muhshiy, al-Barr, al-Muntaqim, al-‘Afuw, al-Ra’uf, al-Mani’, al-Nur, al-Hadi, al-RAsyid, al-Shabur. Manusia disebut berakhlak tercela (madzmumah) karena ia telah berakhlak dengan asma yang tidak pantas untuk disandangnya. Contoh: Allah, al-Quddus, al-Mutakabbir, al-Jabbar, al-Ghaffar, al-Qahhar, al- Qabidh ‘l-basith, al-Khafidh ‘l-Rafi’, al-Mu’iz ‘l-Mudzil, al-Sami’ ‘l-Bashir, al-Hakam ‘l-‘Adl, al-‘Adzim, al-Ghafur wa ‘l-Syakur, al-‘Aliyy ‘l-Kabir, al-Muqit wa ‘l-Muqtadir, al-Hasib ‘l-Kafi, al-Jalil ‘l-Jamil, al-Raqib ‘l-Hafidz, al-Majid, al-Ba’its, al-Matin, al-Mubdy wa ‘l-Mu’id, al-Muhyi ‘l-Mumit, al-Hayy ‘l-Qayyum, al-Wajid ‘l-Majid, al-Wahid ‘l-Ahad, al-Shamad, al-Qadir ‘l-Muqtadir, al-Muqaddim ‘l-Mu’akhkhir, al-Awwal wa ‘l-Akhir wa ‘l-Dzahir wa ‘l-Bathin, al-Tawwab, Malik ‘l-Mulk Dzu ‘l-Jalal wa ‘l-Ikram, al-Muqsith ‘l-Jami’, al-Ghaniy ‘l-Mughny, al-Dhar ‘l-Nafi’, al-Badi’, al-Baqi ‘l-Warits. Adapun jika manusia menyifati dirinya dengan asma Ilahi maka hal tersebut dalam pengertian majazi bukan haqiqi. Yaitu manusia boleh menggunakan asma tersebut namun harus disertai dengan syarat-syarat tertentu atau dengan adanya dalil yang menunjukkan kebolehan dan taqyid dalam penggunaannya.