Legal Opinion: Whaling in The Antartic (Australia v. Japan: New Zealand Intervening)

• Main Author: Loijens, Tasya Ester
• Format: Article in Journal/Newspaper
• Language: Indonesian
• Published: CV Rewang Rencang 2020
• Subjects: JARPA II; ICJ Authority; Whaling; Kewenangan ICJ; Perburuan Paus; New Zealand; Cara; Akan; Dua; Antarc*; Antarctica; antartic*
• Online Access: https://ojs.rewangrencang.com/index.php/JHLG/article/view/70

In the case of Whaling in Antarctica proposed by the State of Australia, the ICJ is faced with a very technical problem relating to the interpretation and assessment of scientific elements. The court evaluated claims from Australia that Japan through a whaling program called JARPA II concealed commercial purposes behind false scientific research. This case then raised the world's attention in the international agenda, especially the correlation between law and science. On the other hand, the ICJ has also been criticized for handling cases of a technical nature, so questions arise regarding the jurisdiction of the International Court of Justice in dealing with the complexity of factual issues in a healthy and fair manner. Basically, the ICJ should avoid two main hurdles: limiting judgment only to legal aspects or becoming a science judge by conducting technical analsis and considering the position of previously handled cases. This interesting case will be analyzed by the author in relation to his studies in the perspective of international law. Pada kasus Perburuan Paus di Antartika yang diajukan oleh Negara Australia, ICJ dihadapkan pada masalah yang sangat teknis berkaitan dengan penafsiran dan penilaian atas unsur-unsur yang bersifat ilmiah. Pengadilan mengevaluasi klaim dari Australia yang menganggap bahwa Jepang melalui program perburuan Paus yang disebut dengan JARPA II menyembunyikan tujuan komersial di balik penelitian ilmiah palsu. Kasus ini kemudian memunculkan perhatian dunia dalam agenda internasional khususnya korelasitas antara hukum dan sains. Di sisi lain, ICJ juga mendapat kritik karena menangani kasus yang bersifat teknis, sehingga muncul pertanyaan berkaitan dengan yurisdiksi Mahkamah Internasional dalam menangani kompleksitas permasalahan faktual dengan cara yang sehat dan adil. Pada dasarnya, ICJ harus menghindari dua rintangan utama yaitu membatasi penilaian hanya pada aspek hukum atau menjadi hakim sains dengan melakukan analisis teknis dan mempertimbangkan posisi kasus yang ditangani sebelumnya. Kasus menarik ini akan dianalisis oleh penulis berkaitan dengan kajiannya dalam perspektif hukum internasional.